Je dan Lusiana
“Lusiana lama sekali ke toilet, ku rasa dia kesulitan dengan pintunya.
Apa jari-jari keriputnya itu tak kuat membuka engsel? Pasti mukanya sedang manyun sambil berusaha membuka engsel itu. Apa kau juga berpikir begitu Baba? ” kata pak Je sambil tertawa kecil. Aku tak sengaja sedang lewat di lorong rumah sakit dan melihatnya sedang melamun menatap taman. Ini pukul sembilan malam. Dengan tubuh ringkih dan rambut putihnya, orang tua berumur delapan puluh tahun itu tak seharusnya berada di luar. “Dia pasti sedang berusaha pak Je, tenang saja dia akan kembali ke kamarnya setelah ini.” Jawabku sambil mendorong kursi roda yang ia duduki menuju kamar nya. Pak Je tersenyum lalu mengangguk, “baiklah Baba baiklah”.
Kau
tau? Ini sudah dua minggu sejak kepergian Lusiana, seorang lansia berumur tujuh
puluh tujuh yang juga merupakan penghuni Rumah Sakit Jiwa tempatku bekerja ini.
Ibu Lusiana, ia meninggal setelah berjuang melawan kanker lambung selama dua
setengah tahun belakangan. Pak Je adalah kawan dekatnya. Eh, bukan, lebih dari
itu. Bahkan aku melihat benih-benih cinta dan ketulusan ketika mereka sedang bersama
duduk di lorong sambil bercanda. Ketika mereka sedang sama-sama sadar.
Hari itu, beberapa hari sebelum bu Lusi pergi, pak Je berteriak seperti sedang dalam keadaan tak sadar nya. Pukul lima sore, para perawat mengira ia
hanya sedang kambuh seperti pasien lainnya. Tidak ada yang menyadari bahwa
kalimatnya benar-benar sebuah kenyataan. “Lusiana!!!! Hei perawat bodoh , aku
tidak sedang gila! Lusi pucat pasi dan terjatuh dari bangku ketika aku
sampai!”. Hanya kalimat terakhirnya yang diucapkannya ke sebelas kalinya dengan
suara parau yang mampu menyadarkan salah seorang perawat yang lalu lalang di
sekitarnya. Perawat itu memanggil perawat yang lain, lalu mereka membawa bu Lusi menuju pusat pemeriksaan
kesehatan Rumah Sakit. Dokter Andre yang
saat itu sedang shift merujuk bu Lusi menuju Rumah Sakit Daerah yang
peralatannya lebih memadai dan canggih.
“Aku
akan mengantarnya” kataku reflek ketika mendengar kabar yang beberpa hari
sebelumnya sempat membuatku banyak pikiran. “kau jangan lupa perhatikan pak
Je, setiap pagi ia mengamuk berteriak,
bilang melihat cucu gadisnya berdarah-darah bunuh diri karena dilecehkan oleh
ayahnya sendiri. Dan setiap sore, di saat dia sadar, dia selalu bertemu Bu Lusi
di bangku lorong. Karang cerita apapun, dan pastikan jangan sampai ia kembali
berteriak tentang cucu gadisnya lagi.”
tambahku. Pak Je memang seperti itu, ia berada di Rumah Sakit Jiwa ini setelah
depresi berat mengetahui cucunya dilecehkan dan dibunuh oleh anaknya sendiri dan anaknya menyusul bunuh
diri dua hari setelahnya. Pak Je selalu berteriak kembali tentang itu ketika
sesuatu yang diinginkannya tidak terpenuhi.
Aku
segera bergegas menuju ambulans dan langsung meluncur menuju Rumah Sakit
Daerah. Tiga hari, bu Lusi koma tiga hari. Kronis dilambungnya mengakibatkan
sesak dan otaknya mengalami kekurangan oksigen. Selama tiga hari itu juga aku
bolak-balik Rumah Sakit untuk merawatnya langsung. Shift terapi ku di RSJ aku
kurangi. Ibu Lusi spesial untukku, sungguh. Ia mirip dengan ibu yang dua tahun
terakhir ku bentak dengan kasar dan tak sadar bahwa itu kalimat terakhirku
untuknya. Karena itu aku berusaha memperlakukannya seperti ibuku meskipun
terkadang ia sangat tidak terkendali ketika ‘sakit jiwa’ nya kambuh.
Tiga hari berlalu. Kau tau bukan, bahwa takdir langit memang tidak pernah lalai menjalankan tugasnya. Tepat
sesaat setelah bu Lusi sadar dan meminta air minum, semenit kemudian ia
tersenyum, lalu menghembuskan napas terakhir. Aku disana, aku yang membantunya minum, menyuapinya
sesendok demi sesendok air. Semangatku seperti hilang separuh begitu saja.
Kabar yang sangat tidak diharapkan itu sudah terjadi, dan tidak ada yang bisa
menyangkalnya. Namun tak bisa dipungkiri pula, sebelah hatiku yang lain sempat
menenangkanku waktu itu. Bilang bahwa setidaknya aku sudah menemaninya sampai
akhir, dan rasa bersalahku kepada almarhumah ibuku sendiri sedikit berkurang.
*hari pertama aku bekerja di Rumah Sakit Jiwa.
Aku berjalan melihat sekeliling sambil tersenyum,
berusaha melihat seluruh sisi tempat ini dengan prasangka baik. 56% dari pasien
disini adalah orang-orang dewasa yang berusia sekitar 25-37 tahun. 34% nya
berkisar 38-60 tahun, dan 10% sisanya adalah lansia berusia lanjut. Dihadapanku
saat ini ada seorang wanita dewasa yang sedang melamun, ada seorang pria dewasa
yang bersenandung lagu anak sambil berjoget-joget, ada bapak-bapak setengah baya
yang berbicara dengan tumbuhan sambil menunjukkan ekspresi yang bermacam-macam,
dan berbagai macam ‘orang sakit’ lainnya seperti yang umumnya ada di rumah
sakit jiwa.
Tidak semua orang tidak waras di rumah sakit jiwa gila
seluruhnya. Kalimat ini adalah hal yang tidak dimengerti oleh masyarakat luas. Penyebab
mereka bisa saja bermacam-macam bukan? Banyak sekali bahkan orang-orang normal
yang menghindari kontak dengan pasien-pasien disana. Padahal, mereka bahkan
lebih waras dari manusia-manusia lainnya. Mereka tidak terkontaminasi oleh
hoax, paham radikal, serta suap bejat dan sejenisnya. Tidak ada yang tau jenis
kejadian apa saja yang menyerang mental mereka hingga harus berakhir di Rumah
Sakit Jiwa. Dan inilah salah satu alasanku mengapa memilih bekerja di sini
dibandingkan harus membuka praktek psikoterapi sendiri.
“Selamat pagi mbak Santika” sapa seorang perawat
padaku. “Santika Ambarukmo, panggil saja Baba ya, saya lebih senang dipanggil
Baba karena lebih akrab daripada Santika” kataku. “oh iya maaf, hehe mari mbak
Baba ikuti saya”. Kemudian disini aku pertama kali pula bertemu Bu Lusi dan pak
Je. Mereka adalah dua pasien pertama ku.
Bu Lusi datang dengan tangan yang diborgol bersama dua
orang perawat. Aku tertegun, melihatnya seperti seorang narapidana. “nanti bu
Lusi akan mengamuk dan menarik-narik rambut kami lalu mengacak-ngacak seluruh
ruangan” kata seorang perawat. Dia berhasil membaca raut wajahku yang terlihat
kaget.
Sesi pertama berlangsung tiga puluh. Hanya perkenalan,
itu pun tidak banyak membuahkan hasil. Tentu saja, tidak mudah membuka luka
lama yang sepenuhnya ingin disimpan oleh seseorang, dan resiko lainnya, bu Lusi
sudah bicara sambil meraung-raung seperti sedang di sayat-sayat. Aku yang
pertama kali praktek saat itu tidak tega pada seorang wanita lansia yang sangat
mirip dengan ibuku. Dan hal itu juga terjadi pada pak Je, hanya sebentar bahkan
tidak sampai dua puluh menit. Bedanya dia datang dengan sedikit diseret karna
meronta sejak pagi, setengah jam sebelum aku tiba. Dan ketika melihatku ia
sontak loncat memelukku sambil menangis menatapku; mengira aku adalah cucu
perempuannya.
Jam empat sore. Aku menghela napas panjang. Ternyata
hari pertamaku cukup berat, bertemu banyak orang berteriak di ruanganku, ada yang baru mau bicara sambil disuapi bubur
seperti balita, ada pula yang sempat mengacak-ngacak meja menuduh aku mantan
kekasih yang meninggalkannya menikah dengan orang lain karena tidak terima
dengan kekurangan mentalnya. Dan banyak lagi. Jika kusebutkan mungkin kau akan
menertawakan betapa anehnya hari ini bagi seorang yang normal. “bagaimana mbak
Baba hari pertamanya?” perawat yang tadi pagi mengantarku datang ke ruanganku
bersiap membersihkan ruanganku. Aku merutuk dalam hati, apa perawat ini
mengejekku atau bagaimana, wajahku sudah kusut sekali apa dia tidak lihat? .
“Yaah, begitulah. Namanya juga bekerja. Saya pamit duluan ya pak” aku
benar-benar butuh dunia luar. “hehehe, begitulah mbak, nanti lama kelmaan mbak
akan terbiasa, sayaa juga dulu rasanya hamper ingin kabur di hari pertama
bekerja disini. Eehh, tapi mbak, sebelum pulang mba lewat lorong yang tadi ya,
ada hal menarik disana. Saya yang sudah menjadi duda sejak lama dan tidak
merasakan cinta seperti dapat merasakan kembali bagaimana kehangatan itu
merasuk relung hati.” Katanya. Aku mengangguk dengan setengah tersenyum.
Memikirkan, ah itu hanya kalimat penenang.Aku berjalan begitu saja, tidak
melewati lorong yang tadi melainkan lewat jalan lain yang langsung menuju
tempat parkir mobil. Malam ini aku ada janji dengan sesorang yang penting.
Untuk menyelesaikan permasalahan penting juga.
“ah, iyaa” aku berseru, baru sadar jaket yang ku taruh
di gantungan di ruangan praktek tadi pagi saat datang. Ketinggalan. Aku kembali
ke ruangan praktek. Syukurlah perawat yang tadi pagi masih disana, belum
mengunci ruangan praktek. Sekali lagi, sbelum aku meninggalkan ruangan ia
berkata tentang suatu hal yang menarik di lorong. Huufftt , baiklah tidak ada
salahnya melihat sebentar.
Yaa….
Hal menarik dan menyejukkan hati itu memang disana.
Di lorong rumah sakit ini.
Bangku putih panjang, menghadap taman langsung.
Matahari mulai perlahan turun sedikit-sedikit. Kedua lansia itu sedang
bergandengan tangan seperti muda-mudi yang sedang jatuh cinta. Sesekali mereka
tertawa, dan masing-masing dari mereka memegang susu kotak. Yang satu rasa
stroberi satunya lagi rasa coklat. Mereka Pak Je dan Bu Lusi. Lihatlah, mereka
yang tadi pagi menangis keras, menundukkan muka, banyak diam dengan tatapan
kosong. Sore ini mereka sedang menikmati hari yang hampir habis. Mereka sedang
baik-baik saja. Jauh dari kata tidak waras. Sangat jauh.
“Aku benar kan ?” kata perawat duda sambil berlalu.
Tambahkan Komentar