Kita adalah Pemula abadi.

Kita adalah Pemula abadi.





Perihal kehilangan,  kita semua selalu jadi pemula.  Yang abadi yang tidak pernah siap bagaimana harus merespon.   

Agustus 2019, saya sedang meeting untuk sebuah acara yang akan dilaksanakan tenggatnya sebulan kemudian.  Sedang serius membahas tempat juga tema,  ponsel saya berdering keras.  Sapa saya "halo,  kok tumben jam segini? Ga kerja?  Ada apa? Gue Lagi diluar". 


Diseberang hanya diam,  kemudian ada suara isak yang tertahan dengan bergetar terdengar kalimat "ayah masuk rumah sakit,  skrg Lagi koma" 


Deg. 


Sahabat saya sejak masa sekolah. Sejauh ini saya memang belum pernah melihatnya menangis secara langsung dan sepanik itu.  Kami,  adalah anak anak rantau dari Timur Indonesia, butuh satu hari via udara agar bisa sampai di Papua dari tanah Jawa. 


Esoknya,  saya ikut mengantarnya ke Bandara. Kami sempat membeli oleh - oleh untuk keluarga nya dan beberapa kerabat yang datang.  Bersenda gurau,  dan saling menggoda satu sama lain.  Wajahnya,  banyak tertawa meskipun saya tau ada berjuta rasa khawatir disana.  Kami berangkat ke Bandara selepas maghrib.  Jadwal penerbangan tercepat yang ada hanya penerbangan malam pukul 9. Sambilmenunggu waktu check in,  kami berkeliling, berbincang tentang banyak hal dan betapa menakjubkannya sosok Ayah dalam hidupnya.  


Tiba tiba ponselnya berdering berkali kali.  Namun ketika diangkat,  tidak satupun orang yg bisa berbicara dengan jelas. Perasaan khawatir dan takut akan kehilangan kembali tergambar jelas dirautnya.  Sampai ketika ponsel itu bordering lagi,  dia sudah tidak bisa berbicara.  Pundaknya bergetar,  tangannya sempurna menutupi mukanya namun tidak dengan air matanya.  Saya coba angkat panggilan yang berdering berikutnya,  mendengarkan,  lalu menghela napas panjang.  Saya merangkulnya l,  menguatkan sebisa mungkin meskipun hati saya juga remuk redam.  Pukul delapan tepat,  dia harus check in untuk penerbangan.  


Saya duduk di bangku luar ruangan.  Tidak mengerti apa  yang sebenarnya terjadi.  Tidak bisa berpikir apa apa.  

Saya menatap kosong kendaraan yang lalu lalang.  Mencoba mencerna sekali lagi. Tapi gagal. 

Selang dua minggu.  Kabar mengejutkan kembali sampai di telinga saya.  Ibunya menyusul menemui cintanya. Saat itu saya tengah menjalani kegiatan diklat kampus dimana saya harus berkonsentrasi cukup tinggi. Namun sekali lagi,  setelah mendengar kabar itu dari teman saya yang lain via Whatsapp saya hanya terdiam. Butuh waktu untuk  dapat mencerna segalanya.  Segala pertanyaan,  berbagai sanggahan , serta proses pendewasaan. Tapi hari itu saya bahkan belum menemukan jawabannya.

Empat bulan kemudian sahabat saya kembali.  

Matanya sayu,  dan tampak kosong.  Dia Waktu kami bertemu itu dia berkata  "gue kabur hehe" 

Saya ikut tertawa, namun kita tau,  itu tawa yang terdengar muram.  


Tidak ada yang bisa menerka garis tangan Tuhan.  Pun setiap yang bernyawa pun akan mati.  Perihal kami anak anak yang menanggung beban kehilangan,  kami tetaplah pemula dan sampai kapanpun tetap pemula tentang ini.